Keutamaan Menuntut Ilmu
Keutamaan Menuntut Ilmu adalah kajian Fiqih Do’a dan Dzikir yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan Rodja TV pada Selasa, 6 Jumadil Awal 1447 H / 28 Oktober 2025 M.
Kajian Tentang Keutamaan Menuntut Ilmu
Ilmu yang dimaksud di sini, menurut para ulama, jika disebut secara mutlak adalah ilmu agama . Ilmu agama merupakan ilmu yang paling utama secara mutlak karena yang dipelajari adalah tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentang syariat, hukum-hukum, serta adab terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, jangan menganggap mempelajari ilmu agama sebagai sesuatu yang remeh dibandingkan dengan ilmu dunia. Belajar ilmu dunia mempelajari tentang makhluk, sedangkan belajar ilmu agama mempelajari tentang Pencipta makhluk. Keutamaan suatu ilmu disesuaikan dengan apa yang dipelajari. Semakin utama yang dipelajari, semakin agung ilmu tersebut. Tentunya, Pencipta makhluk lebih utama daripada makhluk itu sendiri.
Dengan demikian, ilmu tentang Pencipta makhluk, tentang Allah dan syariat-Nya, adalah ilmu yang paling utama, paling agung, dan paling mulia . Ilmu adalah zikir yang paling utama, dan majelis ilmu merupakan sebaik-baiknya majelis. Bahkan, majelis ilmu lebih utama daripada majelis dzikir sebatas tasbih, tahmid, dan takbir.
Majelis tasbih, seperti ucapan Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallah, Allahu Akbar, merupakan ibadah yang manfaatnya terbatas untuk diri sendiri. Sementara itu, ilmu manfaatnya untuk diri sendiri dan juga untuk orang lain. Para ulama berpendapat bahwa ibadah yang manfaatnya menular (bermanfaat bagi orang lain) lebih utama dibandingkan ibadah yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.
Ilmu terbagi menjadi fardu ain dan fardu kifayah.
Ilmu Fardhu ‘Ain
Sebagian ulama, seperti Ibnu Abdul Bar, mengatakan ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang tanpanya keimanan tidak mungkin sempurna. Pendapat lain menyatakan bahwa ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan setiap hari, seperti ilmu tentang shalat, wudhu, cara berpakaian yang sesuai syariat, makan, dan minum. Termasuk juga ilmu tentang keimanan (tauhid) yang merupakan pondasi ibadah, dan ini adalah ilmu yang paling agung.
Berbeda dengan dzikir Subhanallah, Alhamdulillah, Laa ilaaha illallah, Allahu Akbar yang hukumnya sunnah, ilmu ada yang hukumnya fardu ain. Setiap orang yang tidak mempelajarinya akan berdosa.
Ilmu Fardhu Kifayah
Ilmu fardhu kifayah, seperti belajar bahasa Arab, ilmu ushul fikih, kaidah fikih, dan ilmu hadits. Apabila tidak ada seorang pun yang mempelajarinya, maka semua orang akan berdosa. Namun, jika sudah ada sebagian orang yang mempelajarinya, kewajiban yang lain gugur.
Oleh karena itu, telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau lebih mengutamakan ilmu dibandingkan ibadah, dan lebih mengutamakan orang yang berilmu (alim) dibandingkan ahli ibadah (abid). Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Keutamaan seorang ulama dibandingkan ahli ibadah seperti keutamaan bulan di malam purnama dibandingkan dengan seluruh bintang.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan yang lainnya)
Hadits ini mengandung perumpamaan yang indah mengenai perbedaan antara seorang ulama dan ahli ibadah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengumpamakan ulama (orang berilmu) seperti bulan di malam purnama (biasanya malam ke-15), sedangkan ahli ibadah seperti bintang.
Ibnu Rajab berkata, “Rahasia dari perumpamaan tersebut -wallahu a’lam- adalah bahwa cahaya bintang itu hanya untuk dirinya sendiri, tidak menerangi yang lain. Sedangkan bulan di malam purnama, cahayanya menerangi seluruh permukaan bumi. Cahayanya bisa membantu orang yang berjalan di malam hari.” Ketika malam hari gelap dan bulan purnama muncul, seseorang dapat melihat jalan dan mengambil manfaat dari cahaya bulan tersebut.
Perhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menyebutkan “al-kawakib” bukan “an-nujum”. Dalam bahasa Arab, nujum (bintang) masih bisa digunakan untuk petunjuk jalan, sebagaimana firman Allah:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ…
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu (sebagai petunjuk) agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut.” (QS. Al-An’am [6]: 97)
Sedangkan kawakib (planet) tidak bisa dijadikan penunjuk. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan kata al-kawakib untuk menunjukkan bahwa ahli ibadah itu seperti kawakib yang manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, ulama manfaatnya untuk dirinya dan umat. Dengan ilmu, ulama membimbing manusia, menjelaskan syariat, memahamkan Al-Qur’an dan Sunnah, serta menjelaskan jalan menuju surga dan neraka, tentang halal dan haram, hak dan batil, sehingga banyak orang mendapatkan petunjuk.
Dengan demikian, hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu dibandingkan ibadah secara jelas. Bukan berarti orang berilmu lantas tidak beribadah, tetapi dengan ilmu, ibadah menjadi lurus. Ahli ibadah membutuhkan ulama untuk mengetahui apakah ibadah yang mereka lakukan sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bagaimana cara, syarat, pembatal, dan batasan ibadah. Semua itu membutuhkan ilmu.
Bahkan, seorang ulama dengan sedikit amal bisa mengalahkan ahli ibadah yang banyak amal. Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Miftah Daris Sa’adah memberikan perumpamaan: orang yang bekerja hanya dengan tenaga berbeda hasilnya dengan orang yang bekerja dengan ilmu.
Contohnya, seorang kuli bangunan bekerja keras dari pagi hingga sore dengan mengangkat pasir dan batu bata. Sementara seorang kontraktor hanya mengatur, menggambar, dan mengawasi pekerjaan, tetapi hasil upahnya lebih besar kontraktor. Hal ini karena kontraktor bekerja dengan ilmu, sedangkan kuli bangunan bekerja dengan tenaga.
Demikian pula dalam beramal shalih. Ada orang yang hanya mengandalkan tenaga, ada pula yang beribadah dengan ilmu. Orang yang berilmu mengetahui kapan suatu amal menjadi besar pahalanya di sisi Allah dan kapan menjadi kecil.
Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang dikeluarkan Imam Al-Hakim dalam Mustadrak-nya dari Sa’ad bin Abi Waqqas Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَضْلُ الْعِلْمِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ، وَخَيْرُ دِينِكُمُ الْوَرَعُ
“Keutamaan ilmu lebih aku sukai daripada keutamaan ibadah, dan sebaik-baik agama kalian adalah wara’ (sikap kehati-hatian).” (HR. Al-Hakim)
Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang dikhawatirkan dapat membahayakan akhirat, seperti meninggalkan hal-hal yang syubhat (samar hukumnya antara halal dan haram) karena takut merusak akhirat.
Di antara yang menunjukkan keutamaan ilmu dibandingkan seluruh ibadah sunnah, termasuk dzikir, karena ilmu mengumpulkan seluruh keutamaan amal. Diriwayatkan dalam sebuah atsar -dimana sanadnya tidak ada yang shahih, tapi dibawakan karena maknanya benar- Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
“Pelajarilah ilmu, karena mempelajarinya akan menimbulkan khasyah (rasa takut kepada Allah) dan menuntutnya adalah ibadah. Bermuzakarah (mengulang-ulang ilmu) adalah tasbih. Membahas ilmu adalah jihad.”
Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa siapa yang mengatakan menuntut ilmu itu bukan jihad, maka tuduh akalnya. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak tahu adalah sedekah. Memberikan ilmu kepada ahlinya termasuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah).
Ilmu adalah rambu-rambu halal dan haram, serta cahaya yang membimbing menuju jalan penduduk surga. Ilmu merupakan teman saat sendirian dan teman saat keterasingan. Para ulama mengatakan, “Sebaik-baik teman duduk untuk mengisi waktu adalah buku (kitab).” Ilmu juga yang mengajak bicara saat sendiri dan sebagai penunjuk ketika senang maupun susah. Ketika senang, ilmu membimbing untuk bersyukur, dan ketika susah, ilmu membimbing untuk bersabar.
Ilmu adalah senjata untuk musuh-musuh Sunnah (musuh-musuh agama) yang berusaha merusak agama dengan menyebarkan syubhat dan pemikiran menyesatkan. Banyak orang terkena syubhat karena tidak memiliki senjata ilmu. Ilmu juga menjadi hiasan bagi teman-teman akrab.
Allah mengangkat beberapa kaum dengan ilmu, lalu menjadikan mereka sebagai pemimpin dalam kebaikan, imam yang diikuti jejak mereka, dan dijadikan suri teladan dalam perbuatan mereka.
Pendapat mereka juga dimintai ketika ada permasalahan karena ilmu yang mereka miliki. Ketika bermusyawarah dalam suatu permasalahan, musyawarah harus dilakukan dengan ahli ilmu.
Download MP3 Kajian Tentang Keutamaan Menuntut Ilmu
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/55743-keutamaan-menuntut-ilmu/